ANALISIS
PENGENDALIAN KUALITAS PADA PROSES PENGERINGAN
TEH HITAM DENGAN METODE SIX SIGMA
(STUDI KASUS DI
PTPN XII (PERSERO) WONOSARI, LAWANG)
Analysis of Quality Control in Black Tea Drying Process
with Six Sigma Methods
(Case Study in PTPN XII (Persero) Wonosari, Lawang)
M. Januar1), Retno Astuti2),
Dhita Morita Ikasari2)
1) Alumni jurusan TIP 2) Staff
pengajar jurusan TIP
Jurusan Teknologi Industri Pertanian – Fakultas
Teknologi Pertanian – Universitas Brawijaya
Jl. Veteran – Malang 65145
(untuk download pdfnya bisa di sini)
ABSTRAK
Proses
pengeringan merupakan salah satu CCP (Critical
Control Point) dalam proses produksi teh hitam. Tujuan penelitian ini
adalah mengetahui nilai sigma pada proses pengeringan teh hitam dan faktor
penyebab penyimpangannya serta memberikan usulan mengenai perbaikan yang
diprioritaskan untuk mengurangi defect
pada proses pengeringan di PT. Perkebunan Nusantara XII (Persero)
Wonosari, Lawang. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan metode six sigma (define, measure dan analyze)
dan FMEA (Failure Modes and Effect
Analysis). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proses pengeringan serbuk teh hitam memilki tingkat six sigma kapabilitas jangka pendek sebesar 2.28 dan kapabilitas jangka panjang sebesar 2.41. Perolehan
nilai sigma tersebut dianggap sudah baik bagi perusahaan di Indonesia, karena standar di Indonesia
sebesar 2 sigma. Faktor penyebab penyimpangan adalah metode, mesin dan
lingkungan. Prioritas usulan perbaikan dilakukan pada mode kegagalan yang
bernilai RPN sebesar 252 yaitu pada perawatan mesin dengan penyebab kegagalan
dikarenakan perawatan mesin yang kurang baik seperti pengecekan mesin yang
jarang dilakukan.
Kata Kunci: Pengendalian Kualitas, Proses
Pengeringan, Six Sigma
ABSTRACT
Drying process was one of the CCP
(Critical Control Point) in black tea manufacturing process. The purpose of
this study were determining the sigma value of drying process on black tea manufacture
determining the factors causing the process deviations and providing
recommendation of priority improvement to reduce defects in the drying process
in PT. Perkebunan Nusantara XII (Persero) Wonosari, Lawang. Measurements were
performed by using the method of six sigma (define, measure and analyze) and
FMEA (Failure Modes and Effects Analysis). The research result showed that the
six sigma level in short-term process capability was 2.28 and the six sigma
level in long term process capability was 2.41. These sigma value level were
considered to be good for the company in Indonesia, because these value were
over of 2 sigma which was standard sigma value in Indonesia. Factors causing
deviations of drying process are methods, machine and the environment. The
priority for improvement was carried out on failure modes with the biggest RPN
value which was 252. This priority was on machine maintenance which was poor,
such as a rare checking machine.
Keywords: Quality Control, Drying Process, Six
Sigma
PENDAHULUAN
Industri teh merupakan salah satu produk
yang memilki daya tarik yang tinggi di beberapa negara. Perkebunan teh wonosari
merupakan perkebunan teh yang berada di bawah naungan PT. Perkebunan Nusantara
XII (Persero) yang terletak di kota Lawang. Perkebunan
teh ini, menghasilkan produk berupa teh hitam yang diekspor ke berbagai negara
seperti Eropa, Australia, Amerika, Timur Tengah dan Asia Tenggara. Data dari
Badan Pusat Statistik (2010), volume perkembangan ekspor teh hitam di Indonesia
pada tahun 2009 sampai 2010 mengalami penurunan sebesar 5203 ton atau sekitar
1.58%. Salah satu yang mempengaruhi penurunan tersebut tidak terlepas dari
kualitas teh hitam yang dihasilkan. Salah satu CCP (Critical Control Point) dalam proses produksi teh hitam adalah
proses pengeringan. Saat ini masih belum ada pengukuran secara detail mengenai
tingkat kapabilitas proses pada bagian tersebut khususnya di PT. Perkebunan
Nusantara XII (Persero) Wonosari, Lawang.
Six
sigma dapat dianggap proses lanjutan pengendalian kualitas tersebut sebagai
aplikasi peningkatan kualitas produk agar memberikan keuntungan yang lebih baik
(Brue, 2006). Menurut Dewi (2012), untuk mempertahankan pelanggan maka
perusahaan dituntut dapat memenuhi keinginan pelanggan, khususnya kualitas
produk. Oleh karena itu
dalam penelitian ini akan dilakukan analisis pengendalian kualitas melalui
pendekatan six sigma pada proses
pengeringan teh hitam di PT.
Perkebunan Nusantara XII (Persero)Wonosari Lawang. Tujuan
Penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai sigma pada proses pengeringan teh hitam di PT.
Perkebunan Nusantara XII (Persero) Wonosari Lawang
dengan metode six sigma, mengetahui
faktor-faktor yang menyebabkan hasil proses pengeringan teh hitam yang
menyimpang (cacat) di PT. Perkebunan Nusantara XII (Persero) Wonosari Lawang, memberi usulan perbaikan
prioritas untuk mengurangi defect proses pengeringan teh hitam dan perbaikan kapabilitas proses.
BAHAN
DAN METODE
Metode
Penelitian
Metode penelitian yang
digunakan adalah metode deskriptif, yaitu penelitian yang memberikan pemecahan
masalah berdasarkan data yang meliputi penyajian, penganalisaan dan
pengintegrasian data. Penelitian dilakukan di PT. Perkebunanan Nusantara XII
(Persero), Wonosari, Lawang. Tahapan penelitian meliputi: survei pendahuluan,
identifikasi masalah, stufi literatur, pengumpulan data, pengolahan data,
pemabahsan dan kesimpulan.
Pengumpulan
Data
Pada tahap pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan observasi dengan
asisten manager perusahaan untuk mengetahui permasalahan yang terjadi pada
proses produksi teh hitam. Berdasarkan hasil tersebut diketahui bahwa titik
kritis yang perlu diteliti yaitu pada proses pengeringan untuk mengetahui
tingkat penyimpangan kadar air pada prosesnya. Pengambilan sampel dilakukan
dengan mengukur tingkat kadar air serbuk teh hitam per 5 gram setiap 20 menit
sekali sesuai SOP HACCP perusahaan yang dihasilkan mesin Vibro Fluid Bed dryer. Medote yang digunakan simple random sampling. Berdasarkan survei pendahuluan diketahui bahwa
industri mengambil 91812 sampel selama tahun 2012, sehingga jumlah sampel yang
diambil sebanyak 400 sampel.
Pengolahan
Data
Tahap pengolahan data
meliputi uji kenormalan data, pembuatan peta kendali
dan R, uji kecukupan data, dan pengukuran nilai
DPMO. Langkah-langkah yang dilakukan pada tahap measure yaitu uji kecukupan
data untuk menentukan jumlah data sampel yang diambil dan dilakukan uji
kenormalan untuk mengetahui data terdistribusi normal. Kemudian pembuatan peta
kendali
dan R, pengukuran nilai DPMO proses jangka
pendek (short term) dan jangka
panjang (long term).
Tahap
Analisis
Pada tahap ini dilakukan analisa hasil pengukuran kapabilitas proses
yang didapatkan dan nilai Zshift. Faktor-faktor
yang mempengaruhi penyimpangan proses pengeringan dianalisis menggunakan fishbone. Usulan perbaikan digunakan
FMEA (Failure Modes Effect Analysis) sebagai bahan pertimbangan dalam usaha
perbaikan proses produksi.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Perusahaan
PT. Perkebunan Nusantara (Persero) XII merupakan perusahaan yang mempunyai perkebunan teh di daerah Wonosari dan Gebug Lor. Pada awalnya perkebunan
tersebut dikelola oleh pemerintah Hindia-Belanda, Tahun 1875 perkebunan ini dibuka oleh NV. Cultur Maatschappy. Setelah Indonesia lepas dari penjajahan Jepang pada
tahun 1945, perkebunan ini diambil alih oleh Negara dan diganti nama menjadi
Pusat Perkebunan Negara (PPN). Pada tahun 1972 PNP XXIII berganti nama menjadi
PT. Perkebunan XII (Persero) kemudian
berganti ke PTPN XII (Persero) hingga pada tahun 1996 sampai sekarang. Perusahaan
ini melakukan produksi sesuai dengan bahan baku daun teh yang tersedia.
Pada tahun 2012 didapatkan rata-rata
jumlah produksi sebesar 75001kg/tahun. Pada Gambar 1.
Produksi Teh Hitam Tahun 2012, dapat diketahui bahwa terjadi fluktuasi hasil
produksi teh hitam di PTPN XII (Persero) Wonosari Lawang Tahun 2012. Adanya
kenaikan dan penurunan tersebut dikarenakan pengaruh musim di Indonesia
sendiri. Menurut Setyamidjaja (2008), pada musim kemarau pertumbuhan tunas akan
semakin lambat sehingga giliran petik akan lebih panjang begitu pula
sebaliknya.
Proses
Pengeringan
Pengeringan bertujuan untuk menghentikan
proses oksidasi polifenol teh pada saat hasil antara oksidasi maupun produk
akhir oksidasi berada dalam imbangan tertentu yang memberikan mutu teh yang
baik (Setyamidjaja, 2008). Pada proses pengeringan digunakan mesin yaitu Vibro Fluid Bed Dreyer (VFBD) Kilburn. Persiapan pengeringan
dilakukan dengan menyalakan tungku ±60 menit sebelum proses pengeringan bubuk
teh lalu blower asap dihidupkan 5 menit setelah tungku menyala. VFBD Kilburn (Gambar 2. Vibro Fluid Bed Dryer) mempunyai kapasitas 1400 kg
dan berdaya 1.5 KVA/2 HP.
Pada proses pengeringan ini kinerja manusia sangat dibutuhkan mengingat mesin
VFBD merupakan mesin semi otomatis. Bahan bakar yang digunakan adalah kayu
sehingga diperlukan tenaga pekerja untuk memasukkan kayu tersebut ke tempat
pembakaran. Pekerja dituntut untuk selalu mengawasi tungku pembakaran pada
mesin VFBD agar suhu inlet dan outlet pada mesin sesuai yang diharapkan.
Menurut Rivai (2009), pelatihan sangat penting bagi pekerja baru maupun yang
sudah lama. Kegiatan pelatihan dapat membantu pekerja dalam mengerjakan
pekerjaan mereka sesuai yang diinginkan perusahaan.
Pengendalian Kualitas Proses Pengeringan Teh Hitam
dengan Metode Six Sigma
Menurut Rahardjo dan Aysia (2003), pada filosofi six sigma sistem kualitas dapat ditingkatkan melalui peningkatan
kualitas dengan penentuan level sigma. Pengendalian kualitas proses
dalam stasiun pengeringan teh hitam dengan menggunakan six sigma meliputi tahap define,
measure, dan analyze. Usulan
perbaikan kemudian dilakukan menggunakan Failure
Modes and Effect Analysis (FMEA) agar penyimpangan dapat diatasi.
Define
Pada titik kendali kritis
proses produksi di PTPN XII Wonosari Lawang diketahui bahwa terdapat beberapa
penyimpangan yang dapat memberikan dampak negatif pada keseluruhan proses
produksi. Penyimpangan pada titk kendali kritis berada pada proses pengeringan.
Persentase penyimpangan dapat dilihat dalam diagram pareto pada Gambar 3. Diagram Pareto Penyimpangan
di Proses Pengeringan. Pada penyimpangan yang terjadi di proses
pengeringan terdapat 4 faktor yang dapat dianalisis. Jenis penyimpangan yang
terjadi yaitu kadar air yang tidak memenuhi standar sebanyak 361 sampel, warna
ampas merah sebesar 240 sampel, rasa pahit pada seduhan teh sebesar 188 sampel
dan kenampakan tidak hitam sebesar 105 sampel. Berdasarkan hal tersebut maka
permasalahan utama yang harus diperbaiki adalah kadar air yang tidak standar.
Perusahaan memilki batas spesifikasi/indikator nilai kadar air serbuk teh
antara 2.5 – 4% sehingga jika kurang maupun melebihi dari
nilai tersebut dapat dikatakan terjadi penyimpangan. Menurut Hartoyo (2007),
salah satu tujuan dari pengeringan adalah pengurangan kadar air mencapai 4%.
Kadar air yang tidak standar memilki persentase penyimpangan tertinggi pada
proses pengeringan. Kadar air ini merupakan fokus masalah yang akan dianalisis
lebih lanjut sehingga diharapkan dapat memperbaiki proses pengeringan.
Measure
Pada tahap ini merupakan tindak lanjut dari proses define yang ditunjang dengan data
sebagai pengukurannya. Untuk pengukuran ini dilakukan pembuatan peta kendali
dan R, uji kenormalan data, uji kecukupan
perhitungan kapabilitas proses serta nilai DPMO (Defect per Million Opportunities). Data yang digunakan pada tahap measure adalah kadar air pada proses
pengeringan selama 5 hari di PT. Perkebunan Nusantara XII Wonosari, Lawang.
Pengukuran
Penyimpangan pada Proses Pengeringan
Pengukuran penyimpangan yang terjadi pada
proses pengeringan dilakukan dengan pengambilan sampel. Pengambilan sampel
dilakukan sesuai dengan Standart
Operational Procedure (SOP) yang ada di perusahaan, yaitu setiap 20 menit
sekali. Jumlah keseluruhan sampel yang dibutuhkan adalah 400 sampel yang dibagi
menjadi 5 subgrup. Uji kenormalan data dilakukan sebelum pembuatan peta kendali
dan R untuk menentukan kapabilitas proses pada
tahap selanjutnya yang datanya harus terdistribusi normal. Hasil uji kenormalan
menunjukkan bahwa nilai P-Value lebih dari 0,05 sehingga variabel dinyatakan
berdistribusi normal.
Peta kendali
dan R digunakan untuk mengetahui data kadar
air yang didapat sudah terkendali atau belum terkendali. Hasil pengukuran peta
kendali sebelum direvisi dapat dilihat pada Gambar 4. Peta Kendali
dan R Jenis Penyimpangan Kadar Air. Nilai batas kendali pada peta tersebut adalah UCL=3.674 dan LCL=2.244 untuk peta kendali
dan UCL=2.620 dan LCL=0 untuk peta kendali R. Oleh karena itu revisi titik-titik yang berada di
luar batas kendali dengan cara membuang outlier.
Pada revisi dilakukan penghilangan 3 subgrup yaitu subgrup 8, 20, 70 sehingga
sampel tinggal berjumlah 385 sampel. Melalui jumlah sampel tersebut didapatkan
proses yang stabil dikarenakan semua titik berada pada batas kendali
dan R. Pada Gambar 5. Peta Kendali
dan R Jenis Penyimpangan Kadar Air (Revisi) dapat
dilihat bahwa data berada pada batas kendali. Kemudian pada data yang
terkendali tersebut dilakukan uji kenormalan kembali, dan didapatkan bawah
masih tetap berada pada batas normal. Untuk menguji kecukupan dari data
tersebut maka dilakukan perhitungan uji kecukupan data. Nilai dari uji
kecukupan data sebesar 360.
Pengukuran DPMO (Defect per Million Opportunities)
Pengukuran nilai DPMO (Defect per Million Opportunities), dilakukan untuk mengetahui
seberapa banyak penyimpangan kadar air pada proses pengeringan yang terjadi.
Pengukuran ini dilakukan pada jangka waktu pendek diartikan dalam rentang waktu
sekali proses produksi dan jangka waktu panjang diartikan dalam rentang waktu
melebihi sekali proses produksi (lebih dari 7 jam). Pada Tabel 1. menunjukkan
nilai DPMO jangka pendek maupun jangka panjang yang bernilai 224400 sampel dan
234600 sampel. Nilai batas atas, bawah dan target merupakan ketetapan dari
perusahaan. Nilai tersebut dikonversikan ke dalam nilai sigma, sehingga
diperoleh konersi DPMO ke dalam nilai sigma sebesar 2.25 dan 2.22. Menurut
Gasperzs (2007), rata-rata industri di Indonesia mempunyai kapabilitas sigma
sebesar 2.00 sedangkan industri di Amerika sebesar 4.00 serta 6.00 sigma untuk
industri kelas dunia. Nilai tersebut mengindikasikan bahwa perlunya perbaikan
secara berlanjut untuk mencapai kapabilitas proses yang tertinggi.
Analyze
Tahap ini merupakan tahap menentukan stabilitas dan
kapabilitas terhadap proses pengeringan yang dapat menyebabkan penyimpangan
kadar air dari standar yang telah ditentukan. Data yang didapatkan pada tahap measure dianalisis sehingga diketahui
akar permasalahannya dengan menggunakan diagram sebab akibat serta usulan
perbaikan dengan metode FMEA (Failure
Modes Effect Analysis). Menurut Putra
(2010), pada tahap ini dilakukan identifikasi sumber-sumber penyebab cacat
produk. Brainstroming dengan pihak
perusahaan dilakukan untuk menentukan secara jelas terkait sebab maupun akibat
yang ditimbulkan.
Analisa Kapabilitas Proses Pengeringan
Pada pengukuran
kapabilitas proses terdapat beberapa indeks kapabilitas yang digunakan yaitu Cp,
Cpk, Pp, dan Ppk. Nilai Cp dan Cpk
merupakan indeks kapabilitas jangka pendek (Short
term) sedangkan Pp dan Ppk merupakan indeks
kapabilitas jangka panjang (Long term).
Grafik kapabilitas proses pengeringan dapat dilihat pada Gambar 6. Kapabilitas Proses Pengeringan.
1.
Analisa
kapabilitas proses jangka pendek
Hasil
pengukuran diperoleh indeks Cp sebesar 0.47 dan Zst adalah 0.84. Hal ini menunjukkan kapabilitas
proses pengeringan ditinjau dari kadar air mempunyai nilai yang cukup jauh dari
standar six sigma sehingga dikatakan
buruk. Menurut Breyfogle (2006),
nilai standar sigma yaitu Cp=2, Cpk=1.5 dan Zst=4.5.
Hasil perhitungan jangka pendek berhubungan dengan pemakaian teknologi
(peralatan, mesin dan lain-lain). Nilai Cpk yang didapatkan dari hasil
pengukuran adalah sebesar 0.28. Menurut Hendradi (2006), kapabilitas suatu
proses menggambarkan seberapa seragam proses tersebut..
2.
Analisa
kapabilitas proses jangka panjang
Nilai
yang didapatkan dari perhitungan adalah Pp sebesar 0.46 dan Zlt
sebesar 0.81, dan nilai Ppk dari hasil perhitungan sebesar 0.27.
Hasil yang diperoleh tersebut lebih kecil daripada target six sigma yaitu nilai Ppk ≥1.5 dan Zlt≥4.5
sehingga dianggap masih kurang dari standar (Sukardi, 2011).
3.
Analisa
Zshift proses pengeringan
Nilai
Zshift memberikan penjelasan kemampuan proses yang digunakan untuk
mengontrol teknologi. Nilai Zshift yang diperoleh pada proses
pengeringan sebesar 0,03. Menurut Sukardi (2011), nilai Zshift
tersebut menunjukkan bahwa kemampuan mengendalikan (control) terhadap kapabilitas proses cukup efektif karena tidak
melebihi 4.5 dan kurang dari 1.5. Kuadran kapabilitas proses pengeringan dapat
dilihat pada Gambar 7. Kuadran Kapabilitas Proses Pengeringan. Pada gambar
tersebut merupakan perbandingan antara nilai Zshift dan nilai Zst.
Titik yang tergambar berada di kuadran C, menjelaskan bahwa teknologi yang
digunakan masih buruk namun kontrol yang digunakan sudah baik. Perbaikan harus
dilaksanakan oleh perusahaan melalui identifikasi dan perbaikan faktor-faktor
penyebab permasalahan agar berada di kuadran D yaitu tingkat kontrol dan
teknologi yang baik.
Faktor – Faktor Penyebab Terjadinya Variasi
Diagram fishbone digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor penyebab
permasalahan yang dapat memberikan beberapa solusi dengan metode FMEA (Failure Modes And Effect Analysis).
Diagram sebab akibat pada proses pengeringan dapat dilihat pada Gambar 8. Diagram
Sebab Akibat Proses Pengeringan. Beberapa faktor penyebab dalam diagram
tersebut adalah:
1.
Lingkungan
Penyimpangan pada proses pengeringan dapat
terjadi akibat mesin drop yang karena suhu
inlet maupun
outlet yang berlebihan. Pengendalian mesin perlu dilakukan agar mesin VFBD
bekerja dengan baik. Kelelahan pekerja juga dapat mempengaruhi kinerja. Pekerja
dapat mengalami kelelahan dikarenakan kondisi di ruang proses pengeringan
dirasa kurang nyaman yaitu suhu ruangan > 27°C dan ventilasi udara yang
kurang, sehingga ketelitian pekerja saat bekerja akan berkurang. Menurut
Tarwaka (2004), kelelahan menunjukkan kondisi yang berbeda-beda dari setiap
individu, tetapi semuanya bermuara pada kehilangan efisiensi dan penurunan
kapasitas kerja serta ketahanan tubuh.
2.
Mesin
Mesin
VFBD (Vibro Fliud Bed Dryer)
merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap penyimpangan kadar air.
Berdasarkan kondisi di perusahaan PT. Perkebunan Nusantara XII Wonosari Lawang bahwa kerusakan
mesin tersebut dapat terjadi akibat perawatan mesin yang kurang intensif yaitu
berdasarkan pengamatan mesin jarang dilakukan pengecekan komponen saat akan
digunakan. Hal ini menyebabkan kerusakan mesin secara tiba-tiba dapat terjadi
sehingga proses produksi harus dihentikan sementara.
3.
Metode
Penggunaan
kayu sebagai bahan bakar mesin VFBD merupakan faktor penting yang dapat menjadi
penyebab kadar air tidak sesuai standar. Penggunaan kayu tersebut dapat
menurunkan kinerja mesin jika tidak dilakukan secara tepat dan baik, seperti
keterlambatan pemasukkan kayu bakar dan penumpukan kayu bakar tidak teratur.
Usulan Perbaikan dengan FMEA (Failure Modes And Effect Analysis)
Metode FMEA ini membantu perencanaan perbaikan
kualitas melalui identifkasi faktor-faktor kritis jenis kesalahan yang terjadi,
kemudian menentukan tindakan koreksi yang terjadi (Kholik, 2008). Menurut Ditahardiyani (2008), penilaian setiap resiko
adalah subjektif dengan skala 1 sampai 10 pada kemungkinan kejadian, keseriusan
dan kemungkinan terdeteksi, semakin tinggi angka maka semakin bermasalah. Hasil
dari FMEA dapat dilihat pada tabel 2. Berdasarkan FMEA modus kegagalan yang
memiliki nilai resiko tertinggi dan terendah dapat diketahui dari beberapa
penyebab berikut:
1.
Perawatan
mesin pengeringan kurang baik seperti pengecekan komponen mesin setiap akan
digunakan jarang dilakukan sehingga mesin yang beroperasi kurang sesuai dengan
yang diharapkan. Hal tersebut menyebabkan komponen mesin mudah aus. Nilai Risk of Priority Number (RPN) didapatkan
adalah sebesar 252. Nilai tersebut merupakan nilai RPN tertinggi dibandingkan
nilai RPN yang disebabkan oleh kegagalan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa
perawatan mesin yang kurang baik memberikan resiko yang tertinggi pada
kegagalan proses. Pemeliharaan yang baik pada mesin VFBD (Vibro Fliud Bed Dryer) dapat memperbaiki proses pengeringan
sehingga kadar air yang sudah ditentukan dapat tercapai. Kemungkinan komponen
aus dapat diminimalisir dan dapat mengurangi ongkos kerusakan mesin. Beberapa
kendala yang sering terjadi pada elektromotor pada cyclone sehingga tidak dapat menyerap air secara sempurna pada
bubuk teh. Memprediksi dan menghindari jadwal downtime (menganggur) berdasarkan informasi tersebut dapat minimalisasi biaya pemeliharaan.
2.
Pembakaran
kayu memerlukan pengawasan dan pengendalian dalam prosesnya. Proses pembakaran
kayu akan baik jika pemasukkan kedalam tungku pembakaran tepat. Kelembapan dari kayu juga
menjadi faktor penting dalam proses pembakaran (Chung, 2007). Menurut Rivai (2009), untuk menyelesaikan tugas
atau pekerjaan seseorang sepatutnya memiliki derajat kesediaan dan tingkat
kemampuan tertentu. Kesediaan dan ketrampilan seseorang tidaklah cukup efektif
jika kurangnya pemahaman yang jelas tentang apa yang dikerjakan dan bagaimana
mengerjakannya. Nilai RPN didapatkan sebesar 180 dan solusi yang dilakukan
yaitu dilakukan pengawasan dalam proses pembakaran sebagai lanjutan dari
pelatihan yang ada di pabrik sehingga dapat menurunkan resiko kenaikan suhu
yang berlebihan.
3.
Ketidaknyamanan
dari pekerja juga menjadi penyebab ketelitian dari pekerja berkurang. Nilai RPN
pada kegagalan yang disebabkan oleh pekerja yang kurang nyaman adalah sebesar
100. Frekuensi kejadian dan deteksi bernilai 5, hal
tersebut menandakan kegagalan yang ditimbulkan dalam tngkat sedang (Chang, 2009).
Hal ini dapat diketahui
bahwa kondisi di ruang pengeringan kurang kondusif menyebabkan pekerja kurang
nyaman. Suhu pada ruang bermesin ini cukup tinggi (27-30°C)
karena pengontrolan dilakukan saat mesin bekerja. Pada bagian pengeringan
jumlah luas lantai sebesar 388,57 m2 dengan luas lubang ventilasi hanya sebesar 24 m2. Menurut Widjaya (2005),
kenyamanan suhu pekerja harus dipertimbangan, pemerataan angin harus dipilih
secara cermat dan pasokan suhu udara yang mengenai pekerja. Solusi yang dapat
dilakukan adalah menyediakan pasokan suhu udara melalui ventilasi yang cukup
untuk pekerja agar nyaman dalam bekerja.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil dari analisa dan pembahasan maka
dapat diketahui kapabilitas proses produksi dan nilai sigma yang berguna untuk
menurunkan tingkat kecacatan maupun penyimpangan produk. Ada beberapa hal yang
dapat disimpulkan:
1.
Pada
perusahaan PT. Perkebunan Nusantara XII Wonosari Lawang khususnya di proses
pengeringan serbuk teh hitam memilki tingkat sigma dengan kapabilitas jangka
pendek sebesar 2.25 dan kapabilitas jangka panjang sebesar 2.22. Perolehan nilai sigma tersebut dianggap sudah
baik bagi perusahaan di Indonesia, karena standar sigma berada pada nilai 2
sigma.
2.
Faktor
– faktor yang mempengaruhi penyimpangan pada proses tersebut adalah manusia,
mesin dan metode. Faktor lingkungan meliputi ketelitian operator yang berkurang akibat suhu ruang
kerja tidak nyaman. Untuk
faktor mesin meliputi kinerja mesin yang kurang sesuai dengan yang diharapkan,
sedangkan faktor metode adalah penggunaan bahan bakar kayu pada mesin VFBD.
3.
Berdasarkan
metode FMEA (Failure Modes and Effect
Analysis), perbaikan utama yang diusulkan adalah dengan melakukan pemeliharaan
mesin VFBD sehingga kadar air yang sudah ditentukan dapat tercapai dan
kapabilitas proses dapat meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2010.
Statistik Teh Indonesia. Dilihat
27 Januari 2013. <http://www.bps.go.id/hasil_publikasi/flip_2011/5504001/index11.php?pub=StatistikTehIndonesia2010>.
Breyfogle, F.W.
2003. Implementation Six Sigma, Smart
Solutions Using Statistical Methods.
John Willey & Sons, Inc. New Jersey. p. 256-259.
Chang, D., dan Sun, K. P.
2009. Applying DEA to Enchance Assessment Capability of FMEA. International Jurnal of Quality
& Realibility Management 26(6): 629-643.
Chung, Y. J., dan
Spearpoint, M. 2007. Combustion Properties of Native Korean Wood
Species. International Journal on Engineering Performance-Based Fire
Codes 9(3): 118-125.
Dewi, K. S. 2012. Minmasi Defect Produk dengan Konsep Six
Sigma. Jurnal Teknik Industri 13(1): 43-50.
Ditahardiyani, P.,
Ratmayani, dan Angwar, M. 2008. The
Quality Improvement of Power Packaging Process Using Six Sigma Methodology.
Jurnal Teknik Industri 10(2):181.
Gaspersz, V. 2007. Lean Six Sigma for Manufacturing and
Service Industries. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Hal. 231.
Hartoyo, A. 2007. Teh dan Khasiatnya bagi Kesehatan. Kanisius.
Yogyakarta. Hal 12-14.
Hendradi, T. C. 2006. Statistik Six Sigma dengan Minitab Panduan
Cerdas Inisiatif Kualitas. ANDI. Yogyakarta. Hal 34-42.
Kholik, H. 2008. Aplikasi DMAIC dalam Metode Six Sigma dan
Eksperimen Shainin Bhote sebagai Penurunan Persentase Cacat. Jurnal
Teknik Industri 9 (2): 117-127.
Putra, B. I. 2010. Penerapan Metode Six Sigma untuk Menurunkan Kecacatan
Produk Frypan di CV. Corning
Sidoarjo. Jurnal Teknik Industri 11(2): 134-142.
Setyamidjaja, D. 2008. Teh Budidaya dan Pengolahan Pasca Panen
Edisi 6. Kanisius. Yogyakarta. Hal 133-145.
Sukardi, E. U. dan Astuti,
D. A. 2011. Aplikasi Six Sigma pada Pengujian Kualitas Produk
di UKM Keripik Apel Tinjauan dari Aspek Proses. Jurnal Teknologi
Pertanian 12(1):3-5.
Tarwaka, 2004. Ergonomi
Untuk Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Produktivitas. UNIBA PRESS. Cetakan
Pertama. Surakarta. Hal 18-22.
Rahardjo, J., dan Aysia, D. A. Y. 2003. Peningkatan Kualitas Melalui Implentasi Filosofi Six Sigma. Jurnal Teknik Industri 5 (2): 101-110.
Rivai, V. 2009. Manajemen SDM untuk Perusahaan
: Dari Teori ke Praktek.
Rajawali Pers. Jakarta. Hal 220.
Rohmatulloh dan Marimin.
2007. Logika Fuzzy Dan Jaringan Syaraf
Tiruan Untuk Peningkatan Mutu Teh Hitam. Jurnal Teknologi dan Industri
Pangan 18
(2): 96-101.
Widjaja, A. C. Dan Suyono,
J.K. 2005. Buku Saku Kesehatan Kerja,
E/3. Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Hal 204.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar